I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Keadilan merupakan suatu hal yang
abstrak, indikator adil tidak dapat disamakan oleh pandangan antar satu orang
dengan orang lainnya. Sehingga untuk mewujudkan suatu hukum yang adil bagi
masyarakat menjadi tidak mudah. Banyak diantara para ahli memberikan pandangan
atas definisi adil, keadilan
menurut Aristoteles (filsuf yang termasyur) dalam tulisannya Retorica
membedakan keadilan dalam dua macam :
-
Keadilan
distributif atau justitia distributiva; Keadilan distributif adalah
suatu keadilan yang memberikan kepada setiap orang didasarkan atas jasa-jasanya
atau pembagian menurut haknya masing-masing. Keadilan distributif berperan
dalam hubungan antara masyarakat dengan perorangan.
-
Keadilan
kumulatif atau justitia cummulativa; Keadilan kumulatif adalah suatu
keadilan yang diterima oleh masing-masing anggota tanpa mempedulikan jasa
masing-masing. Keadilan ini didasarkan pada transaksi (sunallagamata) baik
yang sukarela atau tidak. Keadilan ini terjadi pada lapangan hukum perdata,
misalnya dalam perjanjian tukar-menukar.
Pancasila sebagai landasan
ideologi Bangsa Indonesia mengamanatkan untuk meweujudkan keadilan, hal ini
tertuang jelas dalam sila kelima yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Hal ini berarti
Negara menjadi sangat bertanggungjawab untuk menciptakan kehidupan sosial yang
berlandaskan keadilan bagi segenap rakyatnya.
Definisi sosial dapat diartikan
dengan kemasyarakatan, artinya dalam kegiatan interaksi manusia mereka tentunya
melibatkan/membutuhkan kehadiran dari orang lain. Kehidupan sosial dalam
pergaulan sehari-hari masyarakat diantaranya meliputi nilai-nila, norma, dan
terdapat tujuan yang sama (mencapai kesejahteraan), dalam masyarakat modern
kegiatan interaksi tersebut diatur secara tegas melalui suatu hukum yang telah
dikodifikasi, sehingga masyarakat terikat pada hukum yang membuatnya wajib
menaati hal yang boleh dilakukan, tidak boleh dilakukan dan konsekuensi
terhadap pelanggaran dari suatu aturan tersebut.
Terhadap
cita-cita untuk mewujudkan keadilan masyarakatnya dihadapan hukum menjadi
penting bagi suatu Negara, sehingga rakyat dapat merasakan bahwa haknya telah
terpenuhi.
Dalam
hal ini seorang hakim sebagai salah satu
penegak hukum dituntut untuk menjunjung tinggi keadilan atas permasalahan hukum
yang dihadapi masyarakatnya, hakim dipandang sebagai kepanjangan tangan dari
Tuhan yang ada di dunia, hal ini menjadi benar ketika kita melihat dari
perspektif kewenangannya untuk mengadili dan memutuskan hukuman yang paling tepat
untuk dijatuhkan kepada terduga kuat pelanggar hukum. Putusan-putusan hakim
dimaksud yang akan disoroti dari berbagai sisi pandangan sehingga putusannya
dirasa adil bagi si penuntut keadilan.
B. Masalah
Sebagaimana
yang telah dijelaskan di atas bahwa indikator adil akan menjadi absurb jika
dirasakan dan dikemukakan oleh tiap-tiap orang, boleh jadi ketika suatu putusan
atau pertimbangan hakim dalam memutuskan suatu perkara dipandang oleh satu
orang telah tepat dan adil, namun bagi orang lainnya terlebih apabila dia yang
mendapatkan dampak langsung dari putusan tersebut dipandang tidak adil.
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) mendefinisikan hakim sebagai pejabat peradilan negara yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk mengadili, artinya tiap-tiap orang yang
berperkara harus tunduk atas putusan hakim tersebut, karena Negara telah
mengamanatkannya demikian.
Selanjutnya Mengadili adalah
serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara
pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Sehingga dalam
hal ini hakim dituntut melekatkan asas kebenaran sehingga putusan yang
diberikannya menjadi perwujudan dari hukum yang adil dan bermanfaat.
Permasalahannya adalah ketika suatu
perkara yang masuk dalam meja persidangan setelah serangkaian penyidikan dan
penyelidikan oleh aparat Kepolisian maupun Kejaksaan sepenuhnya telah
dilimpahkan kedalam meja persidangan, maka hasil putusan hakim tersebut akan
menjadi sesuatu yang mutlak dipatuhi. Begitu pula halnya jika perkara yang
masuk didalam ranah siding pengadilan berkaitan erat dengan tindak pidana yang “nilai
kerugiannya kecil” serta melbatkan “kalangan bawah/miskin” yang dalam hal ini
menjadi sorotan bagi masyarakat karena kasusnya menyentuh hati/menggugah hati
orang lain untuk turut berkomentar atau sekedar berempati.
II.
PEMBAHASAN
A.
Kewenangan
Aparat Penegak Hukum
1.
Kepolisian
Kepolisian
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 1 KUHAP diberikan
kewenangan sebagai penyidik, yaitu: “Penyidik adalah pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia atau Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”. Selanjutnya atas dasar
memberikan kepastian bagi masyarakat maka penyidikan dan penyilidikan
kegiatannya adalah menjadi monopoli/diwewenangkan kepada Kepolisian (Pasal 4
KUHAP).
Dalam
hal penyelidikan, tugas dan wewenang Polisi dapat dilihat dalam Pasal 5
KUHAP, yang berbunyi : Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. Karena
kewajibannya mempunyai wewenang :
1)
Menerima laporan atau pengaduan dari
seseorang.
2)
Mencari keterangan dan barang bukti.
3)
Menyuruh berhenti seorang yang
dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.
4)
Mengadakan tindakan lain menurut hukum
yang bertanggungjawab.
Sebagaimana
kewenangan pada poin 1 di atas, yang dapat diterjemahkan bahwa setiap laporan
dari masyarakat maka wajib untuk diterima dan ditindaklanjuti melalui
proses penyelidikan oleh aparat
kepolisian tanpa memandang subjek (orang pelapor) dan objek (barang/benda yang
dilaporkan), tapi yang menjadi pertimbangan ialah suatu perbuatan
dimaksudapakah telah memenuhi delik yang diatur dalam KUHP.
2.
Kejaksaan
Kejaksaan menurut Undang-undang No.8
tahun 1981 tentang KUHP diberikan kewenangan:
a. “Jaksa
adalah pejabat yang diberi wewenang oleh UU ini untuk bertindak sebagai
penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap”
b. Penuntut
umum Adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan
penunuttan dan melaksanakan penetapan hakim.
Selanjutnya tugas Jaksa diantaranya:
a. Sebagai
penuntut umum.
b. Pelaksana
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (eksekutor).
Sebagaimana
tugas dan wewenang Jaksa dimaksud, maka apabila suatu kasus/perkara yang telah
dilimpahkan berkasnya dari Kepolisian ke Kejaksaan maka selanjutnya menjadi
tugas seorang jaksa untuk menentukan pasal-pasal yang dilanggar oleh seorang
pelanggar hukum, dan atas suatu fakta tersebutlah seorang Jaksa dapat menuntut
seseorang dengan tuntutan hukumnya sebagaimana telah diatur dalam KUHP maupun
undang-undang untuk tindak pidana tertentu.
3.
Hakim
Hakim
adalah pejabat yang memimpin persidangan. Istilah "hakim" sendiri
berasal dari kata Arab (hakima) yang
berarti "aturan, peraturan, kekuasaan, pemerintah". Ia yang
memutuskan hukuman
bagi pihak yang dituntut. Pasal 31 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman mendefiniskan Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang
diatur dalam undang-undang.
Selanjutnya pada pasal 28,
menegaskan bahwa hakim berkewajiban untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kemudian dalam mempertimbangkan berat
ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari
terdakwa.
Sebagaimana
maksud pasal tersebut di atas, maka hakim wajib untuk menjunjung asas keadilan
dalam upaya untuk mengadili dan menetapkan hukuman bagi seorang terdakwa.
Putusan yang adil sebagaimana yang dimaksud tersebut selain adil bagi seorang
pencari keadilan (pelapor) juga adil bagi tertuntut karena telah melakukan
suatu perbuatan melawan hukum dan hukumannya tidak melampaui batas dari
perbuatan pelanggaran yang telah dilakukan.
B.
Putusan
Hakim yang Berkeadilan dalam Contoh Kasus
Semakin
berkembangnya pengetahuan, teknologi dan taraf ekonomi dimasyarakat tentu
berbanding lurus dengan pemahaman dan kebutuhan terhadap tegaknya hukum di
Indonesia. Sebagai contohnya di salah satu Pengadilan Negeri di Indonesia dalam
3 (tiga) tahun terakhir tercatat jumlah laporan pidana mencapai sekitar 500
(lima ratus) laporan dan belum termasuk laporan perdata dan kasus pidana yang
belum diselesaikan ditahun-tahun sebelumnya. Hal tersebut menegaskan bahwa
praktik penegakan hokum semakin menjadi komoditas bagi masyarakat di Indonesia.
Permasalahan
hokum tersebut tidak terlepas dari keterlibatan berbagai kalangan strata social
dimasyarakat, baik mereka dari kalangan yang lemah secara ekonomi, maupun
terhadap kasus yang pada prinsipnya dinilai “sepele” oleh kelompok masyarakat
tertentu.
Dalam hal
ini penulis menyoroti beberapa kasus yang terjadi di Indonesia serta putusan
hakim yang menjadi perhatian oleh masyarakat maupun media karena kandungan
terdapat nilai-nilai sosial serta nilai kemanusiaan dan estetika.
1. Putusan Hakim Terhadap Kasus
Pencurian 3 Buah Kakao
(Kasus Nenek
Minah)
Kasus tersebut berawal saat Nenek
Minah sedang memanen kedelai di lahan garapannya yang juga lahan garapan Minah
ini dikelola oleh PT RSA untuk menanam kakao. Ketika sedang memanen kedelai, Nenek
Minah menjadi tertarik pada 3 buah kakao yang sudah matang yang kemudian
memetiknya untuk disemai sebagai bibit di tanah garapannya. Setelah dipetik,
buah kakao tersebut digeletakkan begitu saja di bawah pohon kakaoyang berakibat
diketahui oleh seorang mandor perkebunan kakao PT RSA. Mandor itu pun bertanya,
siapa yang memetik buah kakao itu. Dengan polos, Minah mengaku hal itu
perbuatannya. Minah pun diceramahi atas tindakan itu, sadar perbuatannya salah
Minah meminta maaf pada sang mandor dan berjanji tidak akan melakukannya lagi.
Minah berpikir bahwa permasalahan tersebut telah selesai.
Peristiwa kecil itu ternyata
berbuntut panjang, sebab seminggu kemudian dia mendapat panggilan pemeriksaan
dari polisi karena dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal
362 KUHP tentang pencurian.
Proses hokum berlanjut sampai
dengan putusan Hakim yang memvonis Nenek Minah dengan hukuman 1 bulan 15 hari
dengan masa percobaan selama 3 bulan.
Kasus di atas menggambarkan betapa
tidak berdayanya seorang Nenek karena akibat perbuatannya yang mungkin dinilai
“sepele” menjadi suatu buntut panjang hingga proses ranah hokum. Hal inilah
yang menjadi perhatian bagi seorang hakim untuk mewujudkan hokum yang adil,
dimana meskipun perbuatan nenek Minah telah memenuhi suatu delik yang diatur
dalam KUHP, namun setidaknya perlu memperhatikan kebermanfaatan hokum bagi
seorang Nenek Minah dan mewujudkan keadilan hokum untuk pembelajaran bagi
masyarakat.
2. Putusan Hakim Terhadap Kasus Anak
Mencuri Sendal
AAL seorang anak yang dilaporkan
mencuri sandal oleh 2 (dua) orang aparat Kepolisian diputus berslah, meski dinyatakan bersalah, hakim tidak menjatuhkan hukuman
kepada terdakwa. Hakim menjatuhkan tindakan dengan mengembalikan AAL kepada
orang tuanya untuk mendapatkan pembinaan. Salah satu pertimbangan hakim
menyatakan AAL bersalah adalah karena yang bersangkutan mengakui perbuatannya
dalam persidangan.
3. Putusan Hakim Terhadap Kasus Pencubitan
Murid oleh Guru
Kasus hukum yang melibatkan Guru
SDN Tiuhbalak, Baradatu, Kabupaten Waykanan, Lampung yang dituntut di
pengadilan oleh orang tua murid karena telah mencubit anaknya diputus ontslag
(bebas dari segala tuntutan).
Permasalahan kasus tersebut turut
menciderai masyarakat, yang seharusnya permasalahannya tidak perlu diproses
secara hokum karena seharusnya dapat dimediasi karena perbuatan guru adalah
untuk menegur muridnya, bukan dengan niat menganiaya atau menyakiti.
C.
Tugas
Hakim dalam Mewujudkan Keputusan yang Adil
Beberapa
contoh kasus di atas menegaskan bahwa perlu dipedomani agar seorang hakim dalam
memberikan putusan yang dinilai adil. Dalam melaksanakan tugasnya, seorang
hakim dituntut untuk memberikan suatu simpuan putusan yang juga
berprikemanusiaan.
Dalam hal
ketika saran mediasi atau penyelesaian suatu permasalahan hokum diluar
pengadilan tidak dapat ditempuh, maka tugas hakimlah untuk memberikan putusan
yang seadil-adilnya. Hakim wajib berpedoman pada asas kepastian hokum tanpa
mengenyampingkan keadilan dan kebermanfaatan hokum. Sehingga disinilah seorang
hakim diuji dengan tugasnya untuk memberikan suatu keputusan yang
seadil-adlnya.
III.
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Masyarakat
harus mengedepankan rasa manusiawi sebelum menempuh jalur hokum, perlu dipedomani
kembali nilai-nilai dan norma social agar permasalahan mampu diselesaikan
secara musyawarah dan mufakat.
2. Aparat
penegak hokum dalam hal ini Kepolisian dan Kejaksaan dituntut untuk mampu
melaksanakan wewenangnya dalam koridor hokum yang berlaku, namun perlu
dilakukan diskresi terhadap kasus yang dapat dilanjutkan atau tidak.
3. Hakim
wajib memegang nilai-nilai kejujuran dan keadilan dimasyarakat serta hakim
harus memberikan putusan yang berimbang dan lebih mengutamakan kepastian hokum
tanpa mengenyampingkan kebermanfaatan dan keadilan hokum.
B. Saran
1.
Masyarakat perlu kembali menjaga
nilai-nilai dan norma dalam pergaulan sehari-hari.
2. Aparat hokum perlu melakukan diskreasi
terhadap kasus-kasus hokum yang dilaporkan sehingga dapat dipilahnya suatu
laporan yang dapat ditindaklanjuti atau tidak.
3. Hakim agar kembali berpegang teguh pada
nilai-nilai kemanusiaan dan nilai yang berlaku dimasyarakat secara umum.