Kamis, 16 Oktober 2014

Tugas Metodologi Penelitian Sosial 20-09-2014



Judul Tesis :

EKSEKUSI PUTUSAN TETAP (INKRACHT VAN GEWIJSDE)
PERKARA PERDATA NOMOR:742.K/pdt/2004
ANTARA PTPN VII (PERSERO) MELAWAN WARGA KULON ROWO


Rumusan Masalah :

Penulis merumuskan beberapa permasalahan yang akan diteliti dan dibahas, yaitu sebagai berikut:
1.      Bagaimana kedudukan putusan Mahkamah Agung RI dalam Hukum Acara Perdata?
2.      Mengapa eksekusi perkara perdata belum terlaksana sebagaimana mestinya di Pengadilan Negeri Kalianda ?
3.      Apa implikasi dari tidak dilaksanakannya eksekusi putusan dimaksud?


Sumber Judul Tesis:

Penulis mendapatkan ide penulisan tesis sebagaimana dimaksud di atas berdasarkan pada pengalaman pribadi Penulis yang menemukan permasalahan di PTPN VII (Persero)

Metode Penelitian:

Penelitian ini dilakukan dengan metode arsip/dokumen yaitu dengan menelaah setiap dokumen terkait putusah hakim mulai daru Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung serta dokumen berupa surat/memo yang berkaitan dengan permasalahan dimaksud. Selain itu penelitian ini juga menggunakan metode etnography yaitu mengamati serta berinteraksi langsung dengan warga yang tinggal di Daerah dimana terjadi permasalahan lahan dimaksud.

Tugas Sosiologi Hukum 20-09-2014



I.                 PENDAHULUAN



A.    Latar Belakang
Keadilan merupakan suatu hal yang abstrak, indikator adil tidak dapat disamakan oleh pandangan antar satu orang dengan orang lainnya. Sehingga untuk mewujudkan suatu hukum yang adil bagi masyarakat menjadi tidak mudah. Banyak diantara para ahli memberikan pandangan atas definisi adil, keadilan menurut Aristoteles (filsuf yang termasyur) dalam tulisannya Retorica membedakan keadilan dalam dua macam :
-          Keadilan distributif atau justitia distributiva; Keadilan distributif adalah suatu keadilan yang memberikan kepada setiap orang didasarkan atas jasa-jasanya atau pembagian menurut haknya masing-masing. Keadilan distributif berperan dalam hubungan antara masyarakat dengan perorangan.
-          Keadilan kumulatif atau justitia cummulativa; Keadilan kumulatif adalah suatu keadilan yang diterima oleh masing-masing anggota tanpa mempedulikan jasa masing-masing. Keadilan ini didasarkan pada transaksi (sunallagamata) baik yang sukarela atau tidak. Keadilan ini terjadi pada lapangan hukum perdata, misalnya dalam perjanjian tukar-menukar.

Pancasila sebagai landasan ideologi Bangsa Indonesia mengamanatkan untuk meweujudkan keadilan, hal ini tertuang jelas dalam sila kelima yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Hal ini berarti Negara menjadi sangat bertanggungjawab untuk menciptakan kehidupan sosial yang berlandaskan keadilan bagi segenap rakyatnya.

Definisi sosial dapat diartikan dengan kemasyarakatan, artinya dalam kegiatan interaksi manusia mereka tentunya melibatkan/membutuhkan kehadiran dari orang lain. Kehidupan sosial dalam pergaulan sehari-hari masyarakat diantaranya meliputi nilai-nila, norma, dan terdapat tujuan yang sama (mencapai kesejahteraan), dalam masyarakat modern kegiatan interaksi tersebut diatur secara tegas melalui suatu hukum yang telah dikodifikasi, sehingga masyarakat terikat pada hukum yang membuatnya wajib menaati hal yang boleh dilakukan, tidak boleh dilakukan dan konsekuensi terhadap pelanggaran dari suatu aturan tersebut.  

Terhadap cita-cita untuk mewujudkan keadilan masyarakatnya dihadapan hukum menjadi penting bagi suatu Negara, sehingga rakyat dapat merasakan bahwa haknya telah terpenuhi.

Dalam hal ini  seorang hakim sebagai salah satu penegak hukum dituntut untuk menjunjung tinggi keadilan atas permasalahan hukum yang dihadapi masyarakatnya, hakim dipandang sebagai kepanjangan tangan dari Tuhan yang ada di dunia, hal ini menjadi benar ketika kita melihat dari perspektif kewenangannya untuk mengadili dan memutuskan hukuman yang paling tepat untuk dijatuhkan kepada terduga kuat pelanggar hukum. Putusan-putusan hakim dimaksud yang akan disoroti dari berbagai sisi pandangan sehingga putusannya dirasa adil bagi si penuntut keadilan.

B.     Masalah
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa indikator adil akan menjadi absurb jika dirasakan dan dikemukakan oleh tiap-tiap orang, boleh jadi ketika suatu putusan atau pertimbangan hakim dalam memutuskan suatu perkara dipandang oleh satu orang telah tepat dan adil, namun bagi orang lainnya terlebih apabila dia yang mendapatkan dampak langsung dari putusan tersebut dipandang tidak adil.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) mendefinisikan hakim sebagai pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili, artinya tiap-tiap orang yang berperkara harus tunduk atas putusan hakim tersebut, karena Negara telah mengamanatkannya demikian.

Selanjutnya Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Sehingga dalam hal ini hakim dituntut melekatkan asas kebenaran sehingga putusan yang diberikannya menjadi perwujudan dari hukum yang adil dan bermanfaat.  

Permasalahannya adalah ketika suatu perkara yang masuk dalam meja persidangan setelah serangkaian penyidikan dan penyelidikan oleh aparat Kepolisian maupun Kejaksaan sepenuhnya telah dilimpahkan kedalam meja persidangan, maka hasil putusan hakim tersebut akan menjadi sesuatu yang mutlak dipatuhi. Begitu pula halnya jika perkara yang masuk didalam ranah siding pengadilan berkaitan erat dengan tindak pidana yang “nilai kerugiannya kecil” serta melbatkan “kalangan bawah/miskin” yang dalam hal ini menjadi sorotan bagi masyarakat karena kasusnya menyentuh hati/menggugah hati orang lain untuk turut berkomentar atau sekedar berempati.    








II.            PEMBAHASAN



A.    Kewenangan Aparat Penegak Hukum
1.      Kepolisian
Kepolisian sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 1 KUHAP diberikan kewenangan sebagai penyidik, yaitu: “Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”. Selanjutnya atas dasar memberikan kepastian bagi masyarakat maka penyidikan dan penyilidikan kegiatannya adalah menjadi monopoli/diwewenangkan kepada Kepolisian (Pasal 4 KUHAP).

Dalam hal penyelidikan, tugas dan wewenang Polisi dapat dilihat dalam Pasal 5 KUHAP, yang berbunyi : Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. Karena kewajibannya mempunyai wewenang :
1)      Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang.
2)      Mencari keterangan dan barang bukti.
3)      Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.
4)      Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.

Sebagaimana kewenangan pada poin 1 di atas, yang dapat diterjemahkan bahwa setiap laporan dari masyarakat maka wajib untuk diterima dan ditindaklanjuti melalui proses  penyelidikan oleh aparat kepolisian tanpa memandang subjek (orang pelapor) dan objek (barang/benda yang dilaporkan), tapi yang menjadi pertimbangan ialah suatu perbuatan dimaksudapakah telah memenuhi delik yang diatur dalam KUHP.
2.      Kejaksaan
Kejaksaan menurut Undang-undang No.8 tahun 1981 tentang KUHP diberikan kewenangan:
a.       “Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh UU ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”
b.      Penuntut umum Adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penunuttan dan melaksanakan penetapan hakim.
Selanjutnya tugas Jaksa diantaranya:
a.       Sebagai penuntut umum.
b.      Pelaksana putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (eksekutor).

Sebagaimana tugas dan wewenang Jaksa dimaksud, maka apabila suatu kasus/perkara yang telah dilimpahkan berkasnya dari Kepolisian ke Kejaksaan maka selanjutnya menjadi tugas seorang jaksa untuk menentukan pasal-pasal yang dilanggar oleh seorang pelanggar hukum, dan atas suatu fakta tersebutlah seorang Jaksa dapat menuntut seseorang dengan tuntutan hukumnya sebagaimana telah diatur dalam KUHP maupun undang-undang untuk tindak pidana tertentu.

3.      Hakim 
Hakim adalah pejabat yang memimpin persidangan. Istilah "hakim" sendiri berasal dari kata Arab (hakima) yang berarti "aturan, peraturan, kekuasaan, pemerintah". Ia yang memutuskan hukuman bagi pihak yang dituntut. Pasal 31 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mendefiniskan Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang.

Selanjutnya pada pasal 28, menegaskan bahwa hakim berkewajiban untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kemudian dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.

Sebagaimana maksud pasal tersebut di atas, maka hakim wajib untuk menjunjung asas keadilan dalam upaya untuk mengadili dan menetapkan hukuman bagi seorang terdakwa. Putusan yang adil sebagaimana yang dimaksud tersebut selain adil bagi seorang pencari keadilan (pelapor) juga adil bagi tertuntut karena telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum dan hukumannya tidak melampaui batas dari perbuatan pelanggaran yang telah dilakukan.

B.     Putusan Hakim yang Berkeadilan dalam Contoh Kasus
Semakin berkembangnya pengetahuan, teknologi dan taraf ekonomi dimasyarakat tentu berbanding lurus dengan pemahaman dan kebutuhan terhadap tegaknya hukum di Indonesia. Sebagai contohnya di salah satu Pengadilan Negeri di Indonesia dalam 3 (tiga) tahun terakhir tercatat jumlah laporan pidana mencapai sekitar 500 (lima ratus) laporan dan belum termasuk laporan perdata dan kasus pidana yang belum diselesaikan ditahun-tahun sebelumnya. Hal tersebut menegaskan bahwa praktik penegakan hokum semakin menjadi komoditas bagi masyarakat di Indonesia.

Permasalahan hokum tersebut tidak terlepas dari keterlibatan berbagai kalangan strata social dimasyarakat, baik mereka dari kalangan yang lemah secara ekonomi, maupun terhadap kasus yang pada prinsipnya dinilai “sepele” oleh kelompok masyarakat tertentu.

Dalam hal ini penulis menyoroti beberapa kasus yang terjadi di Indonesia serta putusan hakim yang menjadi perhatian oleh masyarakat maupun media karena kandungan terdapat nilai-nilai sosial serta nilai kemanusiaan dan estetika.

1.      Putusan Hakim Terhadap Kasus Pencurian 3 Buah Kakao
(Kasus Nenek Minah)
Kasus tersebut berawal saat Nenek Minah sedang memanen kedelai di lahan garapannya yang juga lahan garapan Minah ini dikelola oleh PT RSA untuk menanam kakao. Ketika sedang memanen kedelai, Nenek Minah menjadi tertarik pada 3 buah kakao yang sudah matang yang kemudian memetiknya untuk disemai sebagai bibit di tanah garapannya. Setelah dipetik, buah kakao tersebut digeletakkan begitu saja di bawah pohon kakaoyang berakibat diketahui oleh seorang mandor perkebunan kakao PT RSA. Mandor itu pun bertanya, siapa yang memetik buah kakao itu. Dengan polos, Minah mengaku hal itu perbuatannya. Minah pun diceramahi atas tindakan itu, sadar perbuatannya salah Minah meminta maaf pada sang mandor dan berjanji tidak akan melakukannya lagi. Minah berpikir bahwa permasalahan tersebut telah selesai.

Peristiwa kecil itu ternyata berbuntut panjang, sebab seminggu kemudian dia mendapat panggilan pemeriksaan dari polisi karena dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 362 KUHP tentang pencurian.

Proses hokum berlanjut sampai dengan putusan Hakim yang memvonis Nenek Minah dengan hukuman 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan.

Kasus di atas menggambarkan betapa tidak berdayanya seorang Nenek karena akibat perbuatannya yang mungkin dinilai “sepele” menjadi suatu buntut panjang hingga proses ranah hokum. Hal inilah yang menjadi perhatian bagi seorang hakim untuk mewujudkan hokum yang adil, dimana meskipun perbuatan nenek Minah telah memenuhi suatu delik yang diatur dalam KUHP, namun setidaknya perlu memperhatikan kebermanfaatan hokum bagi seorang Nenek Minah dan mewujudkan keadilan hokum untuk pembelajaran bagi masyarakat.

2.      Putusan Hakim Terhadap Kasus Anak Mencuri Sendal
AAL seorang anak yang dilaporkan mencuri sandal oleh 2 (dua) orang aparat Kepolisian diputus berslah,  meski dinyatakan bersalah, hakim tidak menjatuhkan hukuman kepada terdakwa. Hakim menjatuhkan tindakan dengan mengembalikan AAL kepada orang tuanya untuk mendapatkan pembinaan. Salah satu pertimbangan hakim menyatakan AAL bersalah adalah karena yang bersangkutan mengakui perbuatannya dalam persidangan.



3.      Putusan Hakim Terhadap Kasus Pencubitan Murid oleh Guru
Kasus hukum yang melibatkan Guru SDN Tiuhbalak, Baradatu, Kabupaten Waykanan, Lampung yang dituntut di pengadilan oleh orang tua murid karena telah mencubit anaknya diputus ontslag (bebas dari segala tuntutan).

Permasalahan kasus tersebut turut menciderai masyarakat, yang seharusnya permasalahannya tidak perlu diproses secara hokum karena seharusnya dapat dimediasi karena perbuatan guru adalah untuk menegur muridnya, bukan dengan niat menganiaya atau menyakiti.

C.    Tugas Hakim dalam Mewujudkan Keputusan yang Adil
Beberapa contoh kasus di atas menegaskan bahwa perlu dipedomani agar seorang hakim dalam memberikan putusan yang dinilai adil. Dalam melaksanakan tugasnya, seorang hakim dituntut untuk memberikan suatu simpuan putusan yang juga berprikemanusiaan.

Dalam hal ketika saran mediasi atau penyelesaian suatu permasalahan hokum diluar pengadilan tidak dapat ditempuh, maka tugas hakimlah untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya. Hakim wajib berpedoman pada asas kepastian hokum tanpa mengenyampingkan keadilan dan kebermanfaatan hokum. Sehingga disinilah seorang hakim diuji dengan tugasnya untuk memberikan suatu keputusan yang seadil-adlnya.    




III.        PENUTUP



A.    Kesimpulan
1.      Masyarakat harus mengedepankan rasa manusiawi sebelum menempuh jalur hokum, perlu dipedomani kembali nilai-nilai dan norma social agar permasalahan mampu diselesaikan secara musyawarah dan mufakat.
2.      Aparat penegak hokum dalam hal ini Kepolisian dan Kejaksaan dituntut untuk mampu melaksanakan wewenangnya dalam koridor hokum yang berlaku, namun perlu dilakukan diskresi terhadap kasus yang dapat dilanjutkan atau tidak.
3.      Hakim wajib memegang nilai-nilai kejujuran dan keadilan dimasyarakat serta hakim harus memberikan putusan yang berimbang dan lebih mengutamakan kepastian hokum tanpa mengenyampingkan kebermanfaatan dan keadilan hokum.

B.     Saran
1.     Masyarakat perlu kembali menjaga nilai-nilai dan norma dalam pergaulan sehari-hari.
2.    Aparat hokum perlu melakukan diskreasi terhadap kasus-kasus hokum yang dilaporkan sehingga dapat dipilahnya suatu laporan yang dapat ditindaklanjuti atau tidak.
3.  Hakim agar kembali berpegang teguh pada nilai-nilai kemanusiaan dan nilai yang berlaku dimasyarakat secara umum.